Revitalisasi Puskesmas: Tata Rias Wajah Kesehatan Kita


Di luar istilah revitalisasi puskesmas, segenap komunitas kesehatan di seantero negeri ini saya kira sering mendengar istilah Revitalisasi Posyandu. Tetapi mohon maaf, tanpa sedikitpun bermaksud mengurangi makna yang dikandung dalam istilah ‘revitalisasi posyandu’, terus terang saya katakan bahwa sejatinya yang paling urgen untuk direvitalisasi adalah puskesmas. Soal posyandu, kalau puskesmas berhasil direvitalisasi, maka saya yakin seyakin-yakinnya bahwa itu kemudian akan menjadi bagian dari rangkaian takdir menuju keberhasilan revitalisasi posyandu. Tanpa revitalisasi puskesmas, maka revitalisasi posyandu selamanya akan berputar-putar saja pada konsep-konsep teoritis yang bertele-tele tanpa ada tanda-tanda kekuatan menuju perubahan nyata yang bermakna.

Ketika di atas saya mengaitkan revitalisasi puskesmas dengan revitalisasi posyandu, harap tidak diartikan bahwa benefit dari kesuksesan revitalisasi puskesmas hanya pada keberhaslan revitalisasi posyandu. Tidak ! Sama sekali tidak ! Tidak sesempit itu! Revitalisasi puskesmas, jika berhasil, maka inilah sesungguhnya yang akan merubah wajah konstelasi pelayanan kesehatan negeri ini. Perhatikan bahwa, sistem rujukan berjenjang yang menjadi salah satu urat nadi kehidupan JKN (Jaminan Kesehatan Nasional), mutlak membutuhkan eksistensi puskesmas sebagai institusi operasional vanguard yang fundamental. Jika puskesmas gagal melaksanakan fungsi-fungsi strategisnya, maka itu akan menjadi tanda-tanda “sakaratul maut” sistem JKN kita. (Kawan, baca juga ya tulisan saya yang ini: Menghindari Malapetaka Pelayanan Kesehatan Kita)

Peraturan Menteri Kesehatan (Permenkes) yang terbaru tentang Puskesmas, yakni Permenkes 75/2014, yang ditetapkan dan sekaligus diundangkan pada tanggal 17 Oktober 2014, memiliki relevansi yang sangat kuat dengan harapan publik, termasuk harapan sejumlah kalangan komunitas kesehatan, seputar urgensi revitalisasi puskesmas. Tersurat maupun tersirat, eksplisit maupun implisit, regulasi baru tersebut nyata-nyata mengharapkan bahwa penyelenggaraan puskesmas perlu ditata ulang untuk meningkatkan aksesibilitas, keterjangkauan, dan kualitas pelayanan, dalam rangka peningkatan derajad kesehatan masyarakat serta kesuksesan program JKN (Jaminan Kesehatan Nasional).

Salah satu hal baru dari sekian hal-hal baru lainnya dalam Permenkes di atas, adalah ditetapkannya logo baru Puskesmas yang sarat dengan makna-makna filosofis sekaligus filantropis. Perhatikan logo baru itu. Ada 7 (tujuh) tampilan maknawiah di sana. Pertama, tampilan heksagonal (segi enam) sama sisi, yang merupakan representasi simbolik dari keterpaduan dan sekaligus kesinambungan 6 prinsip dasar penyelenggaraan puskesmas, yang dalam hal ini keenam prinsip itu terwakili oleh nilai-nilai paradigma sehat; akuntabilitas wilayah; independensi publik; ekuitabilitas; teknologi aplikatif; sinergitas & kontinuitas.

Kedua, tampilan 2 lingkaran yang saling beririsan (interseksi), yang melambangkan 2 entitas upaya kesehatan: UKM (upaya kesehatan masyarakat), dan UKP (upaya kesehatan perorangan). Di titik ini, saya merasa sangat perlu untuk menggarisbawahi 2 entitas tersebut, agar tidak terjadi misunderstanding. Beberapa kali saya menemukan indikasi pemahaman yang tidak semestinya, yang menyimpulkan bahwa UKP berada di domain kuratif, sementara UKM ada di ranah promotif preventif. Konsep yang sesungguhnya adalah, UKM maupun UKP, masing-masing harus komprehensif, yang tidak lain artinya adalah kedua entitas tersebut sama-sama harus mengusung unsur promotif, preventif, kuratif, rehabilitatif. Kerja kuratif kita pada klien yang sakit misalnya, tidak boleh merubah apalagi menghilangkan prioritas kita terhadap nilai-nilai promotif preventif pada yang bersangkutan, meski dalam kasus itu kita sedang berada di ranah UKP.
Ketiga, tampilan stilasi sebuah bangunan, yang mengandung makna puskesmas sebagai sebuah wadah operasionalisasi seluruh prinsip dan upaya penyelenggaraan kesehatan yang diamanahkan. Secara pribadi, saya melihat bahwa stilasi bangunan tersebut mencerminkan kedudukan puskesmas yang selayaknya menjadi sebuah “rumah sehat” bagi seluruh masyarakat di wilayah kerjanya. Makna ini sekaligus semakin mengukuhkan prinsip prioritas promotif preventif, tanpa melupakan kerja-kerja kuratif rehabilitatif.

Keempat, tampilan segi tiga, mewakili eksistensi 3 faktor determinan derajat kesehatan, yakni genetik, lingkungan dan perilaku. (Tergantung landasan teori yang digunakan. Kalau teorema HR Blum, ada 4 faktor determinan). Kembali secara pribadi saya sampaikan, bahwa bangun segitiga itu adalah simbol K3 (keselamatan dan kesehatan kerja) yang semestinya menjadi bagian inheren dari totalitas kerja puskesmas maupun kerja kita sebagai bagian dari komunitas publik keseluruhan, di manapun kita berada, di profesi apapun kita berkecimpung.

Kelima, tampilan palang hijau, sebagai simbol perwujudan pelayanan kesehatan dengan mainstream promotif preventif. Di benak saya, tampilan “palang” itu tampak secara maknawi seolah-olah sebagai “pagar” pengaman, pagar pencegah, dari segala hal yang bersifat destruktif bagi kesehatan publik. Tidak ada sedikitpun pemikiran dari saya untuk memaknai “palang” itu sebagai sebuah representasi simbolik teologis agama tertentu, apalagi memang saya bukan ahli di bidang tersebut. Sekali lagi, yang saya konstruksikan di sini adalah makna universalnya. Apa yang di puskesmas (dan juga di seluruh institusi pelayanan kesehatan) dikenal sebagai universal precaution, sesungguhnya masih dalam lingkaran makna filosofis yang satu ini.

Keenam, tampilan warna hijau, yang melambangkan tujuan pembangunan kesehatan yang diselenggarakan puskesmas, yakni meraih derajad kesehatan masyarakat yang setinggi-tingginya. Dalam konteks ini, kawan-kawan saya di Jawa (khususnya di Jogja) bisa menyandingkan filosofi hijau itu dengan idiom lokal ijo royo-royo. Tidak seluruhnya sama sih, tetapi saya kira semuanya memiliki kaitan maknawiah.

Ketujuh, tampilan warna putih, yang diharapkan menjadi simbol kesucian atau keluhuran seluruh napas perjuangan puskesmas dalam mewujudkan prinsip-prinsip atau tata nilai yang mendukung pengejawantahan kesehatan bagi semua, tanpa kecuali. Bahkan, kembali saya katakan secara personal, filosofi putih itu sejatinya menjadi simbolisme ketulusan atau keikhlasan seluruh rangkaian kerja kita, tak terkecuali kerja puskesmas, sebab pada akhirnya makna abadi yang bisa kita raih dari seluruh perjuangan itu akan ditentukan oleh kadar ketulusan yang menyertainya.

Secercah Harapan

Apa yang saya harapkan dari tulisan singkat ini? Hanya satu: puskesmas segera menata diri. Dan sebagai bagian tak terpisahkan dari komitmen menata diri itu, puskesmas mutlak dikawal dengan sungguh-sungguh oleh institusi yang memiliki fungsi sebagai pembina puskesmas, agar kemudian organisasi yang tergolong UPTD (unit pelaksana teknis dinas) ini bisa merealisasikan segala kebaikan filosofis yang terkandung di dalam logo barunya. Bagaimanapun, puskesmas membutuhkan supervisi suportif, bukan supervisi intimidatif. 

Terkait pembinaan puskesmas, Permenkes 75/2014 pasal 45 ayat 1 menyebutkan bahwa Pemerintah, Pemerintah Daerah Provinsi, dan Pemerintah DaerahKabupaten/Kota serta fasilitas pelayanan kesehatan rujukan tingkat lanjutan milik Pemerintah dan Pemerintah Daerah melakukan pembinaan dan pengawasan terhadap penyelenggaraan Puskesmas, sesuai dengan tugas dan fungsi masing-masing. Bahkan dalam ayat 2 pasal yang sama dikatakan: “Pemerintah, Pemerintah Daerah Provinsi, dan Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota dapat melibatkan organisasi profesi dalam melakukan pembinaan dan pengawasan penyelenggaraan Puskesmas”.

Urgensi revitalisasi puskesmas dalam kacamata pandang seperti di atas saya kira tidak sulit untuk diwujudkan kalau kita serius ingin melakukan tata rias wajah kesehatan di negeri tercinta ini. Patut menjadi catatan, revitalisasi puskesmas (dengan mainstream promotif preventif) tidak disangsikan lagi memiliki relevansi yang sangat kuat dengan kondisi eksisting penerapan sistem pembiayaan kapitasi JKN/BPJS saat ini. By the way, dalam suasana berkelakar, suatu ketika saya ditanya oleh seorang kawan, “Dok, bagaimana pendapatnya tentang kapitasi ?”. Saya jawab juga secara bergurau, “Ooh, kapitasi bagus ... yang tidak bagus adalah kalau kita kemudian menjadi institusi layanan publik yang kapitalis”. Wallahua’lam. Barokallahu.


Post a Comment for "Revitalisasi Puskesmas: Tata Rias Wajah Kesehatan Kita"