Menteri Susi, Rokok dan Tato (Segmen-1)


Semenjak publik ramai memperbincangkan Menteri Susi, khususnya soal Tato (english: tattoo) dan kebiasaan merokok beliau, saya terus menyimak berbagai opini yang berkembang. Dan sudah menjadi kebiasaan saya untuk tidak terlalu fokus pada kekurangan seseorang. Bukan apa-apa, sebagai manusia biasa saya merasa memiliki banyak kekurangan. Kalau kekurangan orang lain ikut saya persoalkan, ada 2 (dua) kerugian besar yang potensial bakal saya alami. Pertama, saya akan kehilangan waktu produktif untuk membenahi kekurangan saya sendiri, atau untuk mempertajam lagi muhasabah terhadap diri sendiri. Kedua, saya akan kehilangan momentum berharga untuk menelusuri kebaikan-kebaikan orang lain yang mungkin bisa ditiru atau diterapkan. 

Atas dasar di atas, maka apa yang kita persepsikan sebagai kekurangan orang lain, dalam pandangan saya itu semua hanya bermakna sebagai sarana muhasabah diri saja, dan sama sekali bukan menjadi semacam “dalil” untuk kemudian menyebarluaskan berbagai tuduhan, apalagi tuduhan itu dibangun dari sejumlah asumsi yang didominasi oleh prasangka (biasanya sih prasangka buruk). Ujung-ujungnya, lahirlah justifikasi atas diri seseorang yang tanpa banyak disadari (atau mungkin juga disadari malah) justifikasi itu penuh dengan distorsi. Maka tumbuh suburlah fitnah, ghibah, namimah dan kerabat-kerabatnya.

Saya sepakat, yang benar harus kita katakan benar, yang salah harus kita katakan salah. Haqqul yaqiin, itu harga mati. Tetapi, hal paling esensial sebenarnya bukan pada segi mengatakannya bahwa ini salah, itu benar. Yang paling esensial adalah suasana hati yang kita bangun terlebih dahulu untuk mengatakannya. Tutur kata yang disampaikan dengan suasana hati yang penuh empati (minimal simpati), akan menimbulkan rentetan implikasi yang jauh berbeda dibanding ketika menyampaikannya dengan suasana hati yang penuh dengki dan prasangka (buruk).

(Ngomong-ngomong, kapan bicara tentang rokok dan tato nih...hehehe). Oya, dalam sebuah diskusi kecil tentang rokok dan bahayanya bagi kesehatan, saya ditanya oleh seorang kawan: “Dok, tolong jelasin sejelas-jelasnya mengapa banyak dokter yang merokok?”

“Weih...loe main nyodok aje pertanyaannye. Fokus kita sekarang kan ke Menteri Susi...”

“Iya Dok betul Menteri Susi....tapi kalau dokter bisa menjawab pertanyaan saya di atas, saya yakin semua argumen dasar dibalik kebiasaan merokok pada siapapun akan terjawab sudah . Oke?!”

Okelah kalau begitu...”.

Saya ambil napas panjang sambil sedikit memperbaiki posisi duduk, siap-siap menjawab pertanyaan di atas. “Kalau you perhatikan, dari sekian dokter yang merokok, seluruhnya mereka memulai kebiasaan merokok itu sebelum jadi dokter. Jauh sebelum tercatat sebagai mahasiswa kedokteran, mereka sudah terbiasa dengan rokok. Setelah menjadi mahasiswa kedokteran, banyak diantara mereka yang kemudian berhasil meninggalkan kebiasaan tersebut. Sisanya, itulah yang you bilang “banyak” dokter yang merokok. Jadi harap dicatat, tidak ada satupun dari dokter merokok itu yang memulai kebiasaan merokok mereka setelah jadi dokter . Itu bawaan semua sebelum jadi dokter. Do you understand?"

Yes, tapi mengapa ada di antara mereka yang berhasil meninggalkan kebiasaan lama mereka sebelum jadi dokter itu, sementara yang lain tetap aja merokok meski sudah jadi dokter?”

“Oh, you belum pernah dengar testimoni jujur dari dokter yang masih tetap merokok ya?!”

“Apa itu”

Dengerin baik-baik ya testimoninya: Kekuatan sifat adiksi rokok lebih sering melumpuhkan kekuatan kita untuk meninggalkannya

Oh my God...sampe sgitunya ya Dok ?!” (Bersambung)

* Jika ingin langsung membaca segmen-2, klik di Menteri Susi, Rokok dan Tato (Segmen-2)

Post a Comment for "Menteri Susi, Rokok dan Tato (Segmen-1)"