Dialog Menggetarkan Menuju Singgasana Taubat

Jahdar bin Rabiah, lelaki yang terkenal gemar melakukan maksiat, suatu ketika mendatangi seorang Ulama Sufi bernama Ibrahim bin Adham, yang terkenal juga dengan sebutan Abu Ishaq Al-Balkhi.

“Ya Aba Ishaq, beri aku nasehat yang bisa membuatku kapok melakukan kemaksiatan”, pinta Jahdar.

“Aku tak keberatan kau melakukan maksiat, asalkan kau mampu memenuhi syarat-syarat yang aku ajukan”, jawab Ibrahim bin Adham.

Jahdar bin Rabiah terlihat gembira. Mungkin dia berpikir masih ada jalan untuk meneruskan kemaksiatan asal syarat-syarat itu bisa ia penuhi. “Baik Aba Ishak, apa saja syarat-syarat itu?”

“Syarat pertama, jika kau melakukan perbuatan maksiat, jangan kau makan rezeki Allah”.

Wao... lalu aku makan dari mana wahai Aba Ishaq? Bukankah segala sesuatu yang ada di bumi ini adalah rezeki Allah?”.

“Kalau kau menyadari itu, maka pantaskah kau makan rezeki Allah, sementara kau terus melakukan maksiat atau melanggar perintah-perintah-Nya?”.

Lelaki itu mungkin saja bergumam dalam hati, “Wah...gua gagal nih untuk syarat yang pertama”....... “Lalu, syarat yang kedua wahai Aba Ishaq?”.

“Syarat kedua, kalau kau bermaksiat, jangan kau tinggal di bumi Allah”, tegas Ibrahim bin Adham.

“Weih...lalu aku harus tinggal dimana wahai Aba Ishaq? Bukankah tak ada sejengkal tanah pun yang bukan milik Allah?

“Kalau kau menyadari itu, masih pantaskah kau makan rezeki-Nya, kau tinggal di bumi-Nya, sementara kau terus melakukan maksiat?"

(Wah kena lagi nih gua syarat yang kedua), “Syarat yang ketiga wahai Aba Ishak?”

“Syarat ketiga, kalau kau masih juga bermaksiat kepada Allah, tetapi masih ingin memakan rizki-Nya dan tinggal di bumi-Nya, maka carilah tempat yang tersembunyi agar tidak terlihat oleh-Nya”

Jahdar bin Rabiah tersentak, “Ya Aba Ishak, nasehat macam apakah semua ini? Mana mungkin Allah tidak melihat kita?”

“Bagus! Kalau kau yakin Allah melihat kita, tetapi kau masih terus memakan rizkNya, tinggal di buminya, dan terus melakukan maksiat kepada-Nya. Pantaskah kau melakukan semua itu?”, tanya Ibrahim kepada lelaki yang masih tampak membisu itu.

Semua ucapan itu membuat Jahdar bin Rabiah benar-benar tidak bisa berkutik. “Baiklah, ya Aba Ishak, lalu katakan sekarang apa syarat berikutnya?”

“Syarat keempat, jika malaikatul maut hendak mencabut nyawamu, katakanlah kepadanya bahwa engkau belum mau mati, pending dulu, minta waktu untuk bertobat dan melakukan amal shaleh.”

Jahdar bin Rabiah tertunduk. Tampaknya ia mulai menyadari semua perbuatan yang dilakukan selama ini. Ia kemudian berkata, “Tidak mungkin…. Tidak mungkin.... Tidak mungkin semua itu bisa kulakukan wahai Aba Ishak”

“Ya Abdallah (hamba Allah), bila kau tak sanggup mengundurkan hari kematianmu, lalu dengan cara apa kau dapat menghindari murka Allah?”, jawab Ibrahim bin Adham.

Jahdar memandang Aba Ishak dengan mata yang berkaca-kaca, dan dengan suara lirih ia bertanya, “Syarat berikutnya?”

“Syarat kelima, bila Malaikat Zabaniyah hendak menggiringmu ke neraka di hari kiamat, tolak, jangan kau bersedia ikut dengannya, menghindarlah dan kalau perlu lari menjauhlah sekuat kemampuanmu ...!”

“Cukup ... cukup ... cukup wahai Aba Ishak, jangan diteruskan lagi, aku tak sanggup mendengarnya”.

Jahdar bin Rabiah menjerit histeris di hadapan sang Ulama Sufi tersebut, dan mulai saat itu ia bertekad membuka lembaran baru kehidupannya, diawali dengan istighfar mohon ampun kepada Allah atas segala kemaksiatan yang ia lakukan selama ini, dan berjanji untuk tidak pernah melakukannya lagi. Wallahua'lam.

* (Dalam versi video slide, dialog di atas bisa disaksikan di link ini : Perjalanan Menuju Taubat. Lihat juga 5 Syarat Melakukan Maksiat Versi Ulama Sufi).

Post a Comment for "Dialog Menggetarkan Menuju Singgasana Taubat"