Wacana Kontroversial Seputar Ribka Tjiptaning


"Saya yang siap mencalonkan jadi menteri, kok mereka yang kebakaran jenggot", kata Ribka Tjiptaning, seperti dikutip dalam portal berita Tempo bertajuk Dituding Tak Layak Jadi Menkes, Ini Jawaban Ribka.

Beberapa hari belakangan ini, dan mungkin akan berkembang ke hari-hari selanjutnya, sebuah wacana kontroversial kembali mengemuka di hadapan publik. Kali ini tokoh yang menjadi sorotan adalah Ribka Tjiptaning, Ketua Komisi IX DPR RI. Berbagai pernyataan, baik yang pro maupun kontra tentang beliau mulai ramai menghiasi berbagai media.

Titik awal wacana kontroversial kali ini rupanya tidak terlepas dari munculnya nama Politikus Alumnus Fakultas kedokteran UKI (Universitas Kristen Indonesia) itu sebagai calon Menteri Kesehatan dalam draft KAUR (Kabinet Alternatif Usulan Rakyat). Seperti banyak diberitakan, KAUR adalah sebuah platform terbuka bagi publik, gagasan dari Jokowi Center, yang mencoba menampung aspirasi rakyat untuk berpartisipasi “menentukan” formasi Kabinet Pemerintahan Jokowi-JK periode 2014-2019.

Tulisan ini saya buat bukan untuk masuk dalam rimba kontroversi yang ada, karena tidak akan pernah ada makna-makna signifikan yang bisa kita raih kalau motivasi keterlibatan kita hanya sebatas ikut meramaikan kontroversi yang ada. Dengan segala keterbatasan yang saya miliki, tulisan ini saya coba hadirkan dengan penuh kesungguhan hati untuk merubah haluan kontroversi yang ada agar mengarah pada titik pemaknaan yang konstruktif, sehingga kekuatan yang tadinya terbelah oleh kontroversi dapat terkonsolidasi kembali menjadi potensi sinergitas yang kuat untuk mengukir sejarah perjalanan hidup berbangsa, bernegara (bahkan beragama) yang bisa menjadi kebanggaan generasi sekarang maupun yang akan datang. Mohon maaf kalau saya katakan “tidak ada yang bisa kita banggakan dari tradisi kontroversi yang berlarut-larut, dan seringkali bertele-tele”.

Sebagai bagian dari bentuk solidaritas profesi, saya berusaha memaklumi substansi Petisi Tolak Ribka Tjibtaning Jadi Menkes di Kabinet Jokowi-Kalla. Seperti yang banyak diberitakan, penolakan itu berhubungan erat dengan sejumlah penilaian negatif terhadap sosok Bunda Ribka Tjiptaning. Konon, banyak dokter yang tersinggung, marah, bahkan merasa terhina dengan sejumlah pernyataan beliau. Simak saja salah satu di antaranya dalam berita Dokter Komersil Akibat Pengaruh Kapitalis Neolib, dan masih banyak lagi yang lainnya.

Tetapi, dengan segala kerendahan hati, mohon maaf jika solidaritas saya di atas menjelma dalam bentuk pemaknaan yang mungkin berbeda secara diametral dengan yang lain. Ibu Ribka adalah seorang dokter. Beberapa anak beliau juga adalah dokter. Nah, ketika beliau melontarkan sejumlah sinyalemen “negatif” terhadap profesi dokter, mengapa kita tidak coba memaknai semua itu sebagai sebuah otokritik beliau terhadap profesi kita ?! Mengapa kita tidak coba memaknai semua itu sebagai sebuah bentuk ekspresi khusus kecintaan beliau terhadap profesi dokter yang tidak ingin terkontaminasi oleh “kekotoran zaman” ?!

Hanya ada dua kemungkinan pernyataan-pernyataan Ribka Tjiptaning tentang profesi dokter: benar, atau salah. Kalau kita masih kesulitan untuk menyatakan secara eksplisit kejujuran kita terhadap otokritik yang disampaikan oleh Ribka Tjiptaning itu, apakah benar atau salah, ya sudah, pasrahkan saja semua kepada Zat Yang Maha Mengetahui segala sesuatu yang nyata maupun yang tersembunyi. Hal paling mendasar adalah, bahwa sesuatu yang substansinya salah tidak akan menjadi benar dengan meneriakkan kata benar terhadapnya. Begitupun sebaliknya, sesuatu yang substansinya benar tidak akan berubah menjadi salah dengan mengganti labelnya dengan kata salah. Intan tetaplah intan meski terletak di atas timbunan kotoran. Sebaliknya, kotoran tetaplah kotoran meskipun tertimbun dalam tumpukan intan.

Yang hendak saya katakan di sini adalah, ketika proses aktualisasi profesi dokter, kita yakini sudah berjalan dalam koridor penuh kemuliaan, maka seribu kata-kata penghinaan tidak akan merubah substansi kemuliaan itu. Sebaliknya, tatkala proses aktualisasi profesi dokter telah tercoreng oleh “kekotoran zaman”, misalnya, maka kemuliaan profesi ini tidak akan pulih hanya dengan meneriakkan bantahan-bantahan lisan maupun tertulis terhadapnya.

Dengan pemaknaan seperti di atas, maka apapun sinyalemen negatif tentang profesi dokter yang disampaikan oleh Ribka Tjiptaning (atau “Ribka-Ribka” yang lain kalau ada), harusnya hanya direspon dengan satu cara, yakni re-evaluasi menyeluruh kemuliaan profesi dokter, atau semacam muhasabah kemuliaan profesi, dilanjutkan dengan reaktualisasi profesi dalam koridor kemuliaan itu.

Respon dengan cara seperti di atas, meskipun bisa dilakukan secara personal, namun akan lebih baik jika dilakukan secara organisatoris. Pimpinan-pimpinan organisasi profesi dalam naungan rumah besar IDI (Ikatan Dokter Indonesia) kalau perlu menginisiasi sebuah hajatan besar semacam Sarasehan Nasional tentang Muhasabah Kemuliaan Profesi Dokter. Jika langkah ini ditempuh, sambil memperbanyak dan memperkuat aksi-aksi kepedulian sosial profesi dokter di tengah-tengah masyarakat, maka siapapun yang melontarkan sinyalemen negatif terhadap profesi dokter, publiklah yang akan tampil paling duluan untuk menyatakan kesalahan sinyalemen tersebut .

Akhirnya, biarkan Presiden dan Wakil Presiden terpilih kita saat ini menyusun dan menetapkan struktur kabinetnya. Kalau Menkesnya ternyata tetap adalah Ibu Ribka Tjiptaning misalnya, ikhlaskan saja sebagai bagian dari takdir perjalanan hidup beliau. Yang jelas, kita dianugerahi akal dan hati untuk menilai apa yang mereka lakukan. Kalau baik kita dukung, kalau buruk kita tempuh mekanisme terbaik agar (cepat) diganti dengan yang lain. Kata Gus Dur (Alm), “gitu aja kok repot”. Wallahua’lam.

Post a Comment for "Wacana Kontroversial Seputar Ribka Tjiptaning"