Agar Sakitnya Tuh Tidak di Sini


Mang Urip duduk termenung di sofa tua sebuah Puskesmas. Siang itu udara di luar sana panas menyengat. Aku mendekat ke sofa berwarna coklat tua itu. Aku duduk di samping kanan Mang Urip. Kulihat dia terus termenung. Merenung… Dia bahkan mungkin tidak menyadari kalau Aku sudah duduk di sampingnya.

“Mang, sepertinya ada yang sedang dipikirkan …”, sapa saya sambil merangkul pundaknya.

“Ooh…Pak Dokter. Aduh maaf ya Dok, ga tau kalau Dokter di samping saya…”

 “Ga apa-apa Mang santai aja… Ngomong-ngomong, ada yang bisa kita diskusikan Mang?”

Mang Urip memperbaiki posisi duduknya…Dia menyeruput kopi di depannya. Dari aromanya, saya bisa tebak kalau itu adalah White Kopi Tugu Luwak. Dia memandangku. Aku memandangnya. Kami saling memandang….tapi tanpa kata-kata. Kami diam membisu seribu bahasa. Aku masih memandangnya. Dia merunduk. Ada isyarat dia akan mengungkapkan sesuatu ...

 “Itu sudah harga mati ya Dok, ga bisa dirubah lagi…”

“Ooh, tentang apa nih…”, tanya saya

“TPP dan Kapitasi Dok”

Owalah tentang itu tohGini Mang, saran saya mulai hari ini jangan berpikir lagi tentang TPP dan Kapitasi. Untuk saat ini sih sudah harga mati Mang, tapi ada saatnya nanti dia akan kembali hidup dengan regulasi yang baru lagi. Di dunia ini Mang, hanya Al-Qur’an yang tidak boleh dirubah, atau lebih tepatnya tidak bisa dirubah. Allah memelihara kemurniannya dengan berbagai cara, satu diantaranya dengan cara di amankan di hati puluhan juta para penghafal Kitab yang di dalamnya tak ada satupun keraguanpun itu. Di luar itu, semua produk hukum positif apapun bisa dirubah Mang. Yang BOLEH bisa menjadi TIDAK BOLEH. Yang tidak boleh bisa menjadi boleh. Ketika semua pilihan memungkinkan, ketika opsi BOLEH maupun TIDAK BOLEH sama-sama memiliki rasionalisasi argumentatif yang kuat, maka opsi yang akan diterapkan adalah pilihan yang dibuatkan regulasi pendukungnya oleh pihak yang memiliki otoritas untuk itu”

“Konkritnya seperti apa Dok”

“Ya seperti TPP dan Kapitasi ini Mang. Yang disebut pertama lebih banyak bercorak "Legi Generalis", yang kedua dominan "Lex Specialis", dan sumber maupun peruntukannya berbeda khan Mang. Artinya, dua-duanya bisa diterima. Bahwa kemudian ada pihak yang mempersoalkan keduanya karena dianggap tumpang tindih, sehingga tidak boleh diterima kecuali hanya salah satu di antaranya, maka sebetulnya persoalannya terletak di nomenklatur variabel dan atau parameter. Mau dikuatkan sebagai sesuatu yang tumpang tindih, bisa. Mau dikondisikan sebagai sesuatu yang tidak tumpang tindih, juga bisa. Tinggal arah regulasinya, mau berpihak ke mana. Itu aje Mang substansi dasarnya”

 “Oke Dok…kalau kita tidak perlu berpikir lagi tentang TPP dan Kapitasi (baca: jaspel), lalu apa yang perlu kita pikirkan Dok saat ini”

“KINERJA, Mang …”, jawabku singkat. Kulihat Mang Urip kembali merunduk. Tangan kanannya meraih cangkir kopi di depannya. Beberapa saat cangkir itu hanya dipegang, tak kunjung diminum juga kopi yang mungkin sudah dingin itu. Aku ikut diam sejenak. Sesaat kemudian Mang Urip mengangkat cangkir itu untuk menikmati kopinya…Tapi, entah kenapa, cangkir yang sudah hampir menyentuh bibirnya itu kembali diletakkannya lagi. Dia tidak jadi minum. Apakah karena kopinya sudah dingin, entahlah. Mang Urip segera meletakkan cangkir itu di depannya. Kulihat dia menarik napas panjang, lalu dihembuskannya. Beberapa kali dia melakukan ini sebelum akhirnya dia menunjuk dadanya sambil berkata, “Dok, sakitnya tuh di sini …”

“Haha…Mang Urip … Mang Urip…Percayalah, dialektika TPP dan Kapitasi itu seluruhnya ada di domain kebenaran ralatif. Saya ingin Mang Urip berpikir dengan perspektif yang berbeda, dengan perspektif yang lebih imbang. Saat Mang Urip dulu menerima dua-duanya, saya yakin saat itu ada orang yang menunjuk dadanya juga sambil menuturkan ungkapan populer yang barusan Mang Urip katakan itu: Sakitnya tuh di sini…”

“Artinya, skornya 1-1 ya Dok”, celetuk Mang Urip

“Ada yang lebih bermakna dibanding sekedar menghitung-hitung skor seperti itu Mang…Dulu waktu kita menerima dua-duanya, kita SUKA, yang lain TIDAK SUKA. Saat ini setelah hanya salah satu saja yang bisa kita terima, kita mungkin TIDAK SUKA, sementara yang lain SUKA. Like and dislike di sini Mang bagian dari hidangan kehidupan yang sangat indah yang akan selalu menenteramkan hati kita manakala kita selalu berusaha menyelami hikmah di balik peringatan Allah yang satu ini:


 وَعَسَى أَن تَكْرَهُواْ شَيْئاً وَهُوَ خَيْرٌ لَّكُمْ وَعَسَى أَن تُحِبُّواْ شَيْئاً وَهُوَ شَرٌّ لَّكُمْ وَاللّهُ يَعْلَمُ وَأَنتُمْ لاَ تَعْلَمُونَ 


Boleh jadi kamu tidak suka sesuatu, padahal ia amat baik bagimu, dan boleh jadi (pula) kamu menyukai sesuatu, padahal ia amat buruk bagimu; Allah mengetahui, sedang kamu tidak mengetahui (Al-Baqarah: 216)

Wao, mantap tuh ayat Dok”

“Semua ayat (baca: Al-Qur’an) mantap Mang... Itu substansi dasar Mang, dan itu dasar argumen saya mengapa kemudian saya katakan bahwa tidak perlu berpikir lagi tentang TPP dan Kapitasi (baca: jaspel). Berpikirlah tentang KINERJA Mang. Aku sedang belajar untuk menerapkan hakekat ini Mang. Aku juga masih sangat belepotan dengan kekurangan. Tapi tidak salah khan Mang kalau kita bersama-sama berniat memulainya”

“Siap, Dok”

“Harus siap Mang…”

“Tapi …”

“Tanpa syarat Mang, ga pake tapi-tapi lagi… Sepanjang kita masih bisa menghirup udara Mang, pikirkan dan lakukan kerja yang terbaik. Dan tolong bantu saya juga untuk mengingat pesan tersebut ya Mang… Tengok contoh-contoh konkrit yang ada dalam kehidupan. Di negara (atau di komunitas) yang memiliki falsafah Time is Money, merumuskan paradigma berpikir ini: lakukan pelayanan terbaik, uang akan mencari anda. Tapi jika uang yang anda cari, lebih sering anda akan lupa melakukan pelayanan terbaik. Kalau toh ingat, anda akan melakukannya dengan hati yang terpaksa

“Dokter setuju dengan paradigma itu …?” , tanya Mang Urip sambil mengibaskan tangannya mengusir lalat di dekat cangkir kopinya

“Prinsip yang paling menenteramkan hati menurut saya Mang, bukan relasi antara pelayanan dan uang (meski ini juga ada baiknya), melainkan relasi antara pelayanan dan KEBERKAHAN HIDUP. Banyak kawan yang mengingatkan saya Mang, kalau BERKAH sudah diraih, kemenangan hidup sudah di tangan. Anak-anak mudah diajak kepada kebaikan. Istri tulus menyayangi suami, menjaga kehormatan diri dan keluarga, dan suami juga melakukan hal yang sama, dan masih terlalu banyak lagi Mang implikasi positif lainnya jika keberkahan itu sudah diraih. Tapi UANG … tanpa di-backup dengan nilai instrinsik hidup yang lebih mendasar, maka mungkin uang itu akan menjadi pengantar menuju malapetaka kehidupan yang sangat menyakitkan”

Kulihat Mang Urip manggut-manggut. Aku pastikan manggut-manggut-nya bukan karena mengantuk siang itu, tapi benar-benar karena paham apa yang saya sampaikan. Kopi di cangkir Mang Urip kira-kira tinggal sekali teguk. Belum sempat aku mengingatkan agar dihabiskan biar tidak mubazir, dia langsung menuntaskannya dengan sekali teguk. Bahkan sampai tetes terakhir. Habis sudah kopi itu. Mang Urip memandangku. Aku memandangnya. Kami saling memandang. Diulurkannya tangan kanan Mang Urip ke arahku untuk bersalaman. Kulihat dia sangat bersemangat. Aku yakin semangatnya bukan karena efek kafein dalam kopi itu, tapi efek psikologis dari substansi perbincangan ini.

Okelah kalau begitu Dok. Siap kita buka lembaran baru …”, kata Mang Urip mantap menutup bincang-bincang singkat siang itu sekaligus menutup cangkir kopi yang sudah kosong itu….

Bumi Telukjambe, 31 Maret 2015

Post a Comment for "Agar Sakitnya Tuh Tidak di Sini"