Ketika Anak Usia 16 Tahun Menulis untuk Sang Ayah


Aksioma Masalah
Sehebat apapun, manusia dan segala yang ada pada dirinya adalah milik Allah. Itu yang paling melekat dalam hati dari jawaban Ayah kemarin. Sambil menapaki langkah di perjalanan hari Senin yang membingungkan itu, aku mentafakkuri itu semua. Terlalu sok barangkali untuk dikatakan tafakkur. Lebih tepatnya mungkin mencoba memahami.

Sepertinya, telaga pemahaman kian menjernih untuk diselami. Aku nggak tahu juga sih Yah, apakah yang kutangkap dari perenungan itu betul-betul pemahaman, atau justru menyimpang. Yang jelas, aku menemukan ketenangan. Dan tenang itu, datangnya dari Allah, kan? Setidaknya itu indikasi bahwa apa yang tercatat dalam pikiranku bukan sesuatu yang harus ditinggalkan.

Apa yang aku pahami  ? Tidak banyak. Tapi agaknya, cukup menjawab pertanyaan yang menghujam benak beberapa hari terakhir ...

Manusia diuji dengan sebuah permainan yang kompleks dalam kehidupan dunia ini. Yang hasilnya, akan menentukan nasibnya di alam ukhrawi. Tanah yang menjadi ‘bahan baku’-nya, kemudian dibekali dengan aneka atribut kelebihan, sebagai selimut pelindung bagi kelemahan dan kehinaannya, juga sebagai senjata dalam jihadnya di dunia.

Dari gumpal-gumpalan tanah yang tadinya sama “hina” dan “buruk”-nya, beberapa dikaruniakan kelebihan yang lebih mendominasi sehingga hampir seluruh kekurangannya tertutupi. Mereka diuji kerendahan hatinya, dan sejauh apa mereka bisa menebar manfaat pada dunia.

Beberapa yang lain, diuji kesyukurannya, dengan berbagai kekurangan. Selimut kelebihan mereka, tampak lebih tipis, sehingga banyak kehinaan dan kelemahan yang tampak. Dari situ, akan diketahui, apakah mereka lekas kufur nikmat dan menggugat Tuhan, atau terus merenangi samudera syukur dan ketabahan?

لَا يَدْخُلُ الْجَنَّةَ مَنْ كَانَ فِيْ قَلْبِهِ مِثْقَالَ ذَرَّةٍ مِنْ كِبْرٍ

Tidak akan masuk surga orang yang di dalam hatinya ada kesombongan meski hanya sebiji dzarrah.

..لئن شكرتم لأزيدنكم و لئن كفرتم ان عذابي لشديد..

(Siksa Neraka juga terbuka lebar bagi mereka yang kufur nikmat)

Maka 2 janji itu adalah sedikit dari bukti keadilan. Ujian yang diberikan pada manusia ada dua jenis : Bagi yang mampu, apakah dengan kemampuannya lekas sombong ... Bagi yang tidak mampu, apakah dengan itu ia lekas kufur...

Maka adakah alasan untuk iri dan dengki, jika semua kelebihan dan kekurangan adalah bentuk ujian dalam menggapai satu tujuan yang sama dan bukan sebuah pemulyaan atau penghinaan...? Punya cukup alasankah manusia untuk melestarikan keminderannya?

Serpong, 27 April 2015
21.07


Tidak tahu persis apakah yang aku tulis di atas betul atau salah. Yang jelas, insya Allah ini adalah proses menuju kebenaran. Yah, bagaimana pendapat Ayah?

Catatan:
Jangan lewatkan kata-kata insipiratif  dari Sang Motivator Andrie Wongso yang satu ini: Menelisik Kesempatan Sukses dan Meraihnya.

Post a Comment for "Ketika Anak Usia 16 Tahun Menulis untuk Sang Ayah"