Indahnya Kesaksian yang Menembus Batas



Di sebuah sekolah dasar, seorang guru mengajukan pertanyaan beruntun kepada murid-murid kelas enam, “Apakah kalian melihat diri saya?”

“Ya”, jawab para murid serentak.
“Oke, itu berarti saya ada”, kata sang guru.
“Apakah kalian melihat papan tulis?” lanjut Pak Guru.
 “Ya.”
 “Baik, itu berarti papan tulis tersebut ada”
“Apakah kalian melihat meja itu?” Tanya sang guru sambil menunjuk salah satu meja.
“Ya”, jawab murid-murid.

“Berarti meja itu ada”

“Apakah kalian melihat Tuhan ?”

“Tidak.” “Itu berarti Tuhan tidak ada” kata sang guru.

Selanjutnya, seorang murid yang cerdas berdiri, dan dengan suara lantang dia bertanya kepada murid-murid lainnya, “Apakah kalian melihat AKAL guru kita?” 

“Tidak” jawab mereka serentak

“Oke, kalau begitu, AKAL guru kita tidak ada”

Cuplikan dialog di atas saya adaptasi dari salah satu buku yang ditulis oleh Said Hawwa berjudul Allah. Dialog ini sengaja saya tampilkan untuk menjadi pembuka dan sekaligus pengantar untuk masuk dalam ruang cakrawala makna kesaksian yang menembus batas dan memiliki kekuatan untuk mematahkan segala absurditas argumen-argumen pemaknaan yang rapuh tentang keindahan, kehidupan, atau tentang apa saja.

Bayangkan saat ini anda sedang duduk di pantai berpasir putih, di suatu hari menjelang senja. Sejauh mata memandang, di tepian pantai itu penuh dengan nyiur hijau yang melambai-lambai. Air laut yang di depan anda sedemikian bening, sebening kristal mutiara. Sesekali anda menyaksikan ikan –ikan yang melompat ke atas permukaan laut, menimbulkan suara gemericik air yang begitu indah, berpadu dengan suara angin yang berhembus sepoi-sepoi. Mentari yang hampir terbenam di ufuk barat, dengan bias-bias cahaya jingga yang dipantulkannya ke segenap lengkung cakrawala, anda menatapnya dengan penuh terkesima.

Dan, sebelum anda berdiri meninggalkan tempat ini menuju arah datangnya suara pengantar adzan, anda sempat menyapa para nelayan tradisional yang baru saja pulang. Anda lihat, mereka bergegas menuju rumah sambil menjinjing keranjang yang penuh ikan segar berwarna-warni. Sungguh, mereka sedang bersenandung menyanyikan lagu-lagu riang tentang kehidupan. Subhanallah.

Apa yang barusan anda saksikan ? Ya, satu episode keindahan alam, bukan ? Tapi, makna esensial apa yang kemudian menghujam semakin kuat di dalam relung-relung hati anda tatkala meyaksikan semua keindahan itu ?

Dengan mata yang buta, pasir putih laksana kapas tak benoda itu tidak akan mampu anda saksikan. Dengan mata yang buta, lambaian nyiur-nyiur hijau di tepi pantai nan indah itu tidak akan mampu anda saksikan. Dengan mata yang buta, kebeningan air laksana kristal mutiara itu tidak akan mampu anda saksikan. Dengan mata yang buta, keindahan cakrawala mentari senja tidak akan mampu anda saksikan. Dan masih banyak lagi.

Dengan telinga yang tuli, suara gemericik air itu tidak akan mampu anda saksikan. Dengan telinga yang tuli, senandung lagu-lagu riang para nelayan itu tidak akan mampu anda saksikan. Dengan telinga yang tuli, suara burung-burung pipit yang saling bersahutan di pantai yang indah itu tidak akan mampu anda saksikan. Dan masih banyak lagi.

Dengan kulit yang mati rasa, hembusan angin sepoi-sepoi senja itu tidak akan mampu anda saksikan. Dengan kulit yang mati rasa, kesejukan udara pantai senja itu tidak akan mampu anda saksikan. Dengan kulit yang mati rasa, kelembutan pasir putih di pantai nan indah itu tidak akan mampu anda saksikan. Dan masih banyak lagi.

Baik, saat anda menyaksikan segala keindahan itu, sebenarnya anda sedang “menyaksikan” berfungsinya nikmat-nikmat yang ada pada diri anda, bukan ? Saat anda “menyaksikan” berfungsinya nikmat-nikmat itu, sebenarnya anda sedang “menyaksikan” eksistensi WUJUD sumber segala nikmat itu. Atas dasar ini, maka segala keindahan yang disaksikan dengan kaca mata pandang yang selalu tembus hingga ke titik awal muasal segala keindahan itu berasal, akan menumbuhkan jiwa yang memiliki kekuatan bersyukur yang dahsyat.

Oleh karena itu, izinkan saya berpendapat, bahwa suasana religiusitas di lokasi-lokasi wisata harusnya lebih dahsyat di banding di dalam masjid, atau minimal sama. Dalam konteks kajian ini, kemaksiatan (kalau ada nih) dalam segala bentuk dan coraknya di lokasi wisata, di sekitarnya, atau di mana saja, dapat dimaknai sebagai upaya pembunuhan kekuatan jiwa untuk bersyukur. Na’uzubillah. Maka nikmat Tuhanmu yang manakah yang engkau dustakan? Wallahua’lam.

Post a Comment for "Indahnya Kesaksian yang Menembus Batas"