Fenomena Ahok dan Simbolisme Formalitas Agama



“Tuntutlah ilmu walaupun sampai ke negeri Cina”. Kalau masih ada kendala untuk bisa sampai ke negeri Cina, ambillah pelajaran dari diri seorang Ahok di Jakarta hari ini. Figur yang memiliki nama lengkap Basuki Tjahaja Purnama itu, ada yang mengibaratkan sosok beliau laksana “cahaya purnama” yang menerangi “kegelapan” konstelasi politik mainstream.

Dengan berusaha menjauhi segala stereotip yang ada, apakah itu yang berbasis etnis, religi ataupun yang lainnya, saya pribadi melihat fenomena Ahok sebagai sesuatu yang menyimpan banyak pelajaran positif. Bagaimana dengan kekurangan beliau? Ah, manusia mana sih di bawah kolong langit ini yang tidak memiliki kekurangan? Santai aja kale. Lagian, kalau waktu yang ada kita (salah) gunakan untuk membicarakan kekurangan orang lain, otomatis kita akan kehilangan banyak waktu produktif untuk memperbaiki diri sendiri, atau untuk mengambil pelajaran-pelajaran berharga dari diri orang lain. “Ambil yang baik, tinggalkan yang jelek”. (Tapi awas hati-hati loh, kaidah ini jangan diterapkan untuk sandal jepit milik orang lain...hehehe).

Jangan dikira saya tidak melihat kekurangan pada diri seorang Ahok. Sikap beliau untuk keluar dari Gerindra, demi eksistensi dan sekaligus konsistensi prinsip berpolitik beliau, saya acungkan jempol. Tapi, cara beliau membangun komunikasi dengan elit-elit partai di Gerindra sebelum keputusan mengundurkan diri itu diambil, saya rasa kurang elegan. Namun, itulah dinamika politik, khususnya dari seorang Ahok, dan saya kira kekurangan seperti ini tidak harus menyita banyak waktu kita untuk dipersoalkan, karena memang masih banyak kelebihan dari diri seorang Ahok yang harus kita gali.

Ahok seorang penganut Kristen, memimpin di wilayah yang mayoritas Muslim. Saya paham, masyarakat muslim tidak seragam memandang fakta ini. Bagi saya pribadi, inilah momentum terbaik bagi ummat Islam untuk merumuskan strategi kolektif membangun soliditas ummat agar potensi kekuatan besar yang dimiliki tidak terpecah-pecah seperti sekarang ini. Tapi ingat, kekuatan soliditas itu bukan untuk mengganjal Ahok, atau “Ahok-Ahok” yang lain, tapi cukup untuk meningkatkan bobot kesalehan sosial di tengah kehidupan berdemokrasi yang heterogen. Salah satu wujud kesalehan sosial yang bisa dibagun adalah, keteladanan yang konsisten untuk tidak korupsi di level manapun. Jauh-jauh hari Abraham Samad sudah mengingatkan, korupsi adalah kejahatan atas diri sendiri, atas keluarga, atas negara dan Tuhan.

Oleh karena itu, hemat saya, kampanye rahmatan lil-alamin yang terbesar bobotnya secara sosial kemasyarakatan adalah itu tadi: keteladanan hidup, keteladanan berpolitik, keteladanan berkuasa, yang tidak terjerumus dalam jurang korupsi. Ini saya kira yang menjadi salah satu tantangan terbesar ummat beragama, khusushon ummat Islam. Kalau bukan substansi ini yang menjadi supremasi, maka itu artinya kita masih terjebak dalam tempurung simbolisme formalitas agama; diri kita belum tercelup dalam telaga keindahan makrifat beragama.

Sampai kapanpun saya akan tetap sebagai seorang muslim (dengan segala kekurangan saya tentu saja). Dan sampai kapanpun juga saya akan berusaha untuk selalu menghormati penganut-penganut agama lainnya. Allah Maha Kuasa untuk menjadikan seluruh ummat manusia satu agama. Tapi itu tidak ditempuh-Nya, padahal tak ada yang sulit di sisi-Nya. Ditengah fakta heterogenitas penciptaan-Nya, kita hanya diminta untuk saling mengenal, dan bukan untuk saling menghujat. Wallahua’lam.

Post a Comment for "Fenomena Ahok dan Simbolisme Formalitas Agama"