Hal-Hal Buruk di Balik Kasus Gizi Buruk



Seorang Dokter Spesialis Anak di salah satu rumah sakit, mengirim pesan singkat ke Dinas Kesehatan di Kabupaten setempat. “Assww, maaf ! Saya dapat pasien bernama X (2 thn 10 bln) BB 8,8 kg; gizi buruk sekali, beralamat di Desa X, RT/RW X. Minta tolong petugas gizi memonitornya. Wass, tks Dr.X, SpA”.

Teman sejawat di Dinkes yang menerima short message service tersebut, langsung meneruskan (forward) ke nomor Kepala Puskesmas yang wilayah kerjanya meliputi lokasi domisili anak gizi buruk di atas. “Siap ditindaklanjuti segera!”, tulis Kepala Puskesmas dalam pesan singkatnya.

“Ada berita baik yang harus kita tindaklanjuti”, kata Kepala Puskesmas di hadapan sejumlah staf dalam Apel Pagi. “Sebuah komunikasi yang baik telah terjadi beberapa saat yang lalu antara saya dengan Dinas Kesehatan, dan antara Dinas Kesehatan dengan sebuah Rumah Sakit”, tegas Kepala Puskesmas dalam sambutannya.

Fragmen singkat di atas, saya angkat dari kejadian sesungguhnya dengan menyamarkan nama (khususnya nama pasien) karena pertimbangan etiko-legal, termasuk pertimbangan privacy seseorang. Harus cepat-cepat saya katakan bahwa, sang Dokter Spesialis Anak di atas, dalam pandangan saya, adalah salah satu contoh dokter spesialis anak yang sangat peduli terhadap nasib orang-orang yang terbelenggu dalam persoalan gizi buruk.

Apa yang akan terjadi, jika sang dokter tidak meluangkan sedikit waktunya untuk menulis sebuah pesan singkat kepada stakeholder terkait? (Dengan identitas yang lengkap lagi). Meski Dinkes bukan satu-satunya stakeholder terkait problematika gizi buruk, tetapi pesan singkat itu sudah tertuju pada sasaran yang tepat, dan begitupun forward yang dilakukan tidak kalah tepat dan cepat. (Empat jempol deh untuk ini. Hehehe...)

Inventarisasi hal buruk

Mata rantai kebaikan, menurut hemat saya, akan bergulir dengan baik manakala seluruh komponen terkait berhasil membangun komunikasi yang baik sejak awal hingga seterusnya. Problema multifaktorial gizi buruk adalah masalah yang menuntut jalinan komunikasi multisektor, multiprogram, agar bisa terejawantah solusi yang benar-benar memberdayakan sasaran. Hal buruk yang masih terjadi hingga hari ini adalah, stereotip gizi buruk seolah-olah terkait dengan kinerja Dinas Kesehatan saja, atau Puskesmas. Asumsi ini lebih banyak salahnya daripada benarnya.

Kalau kasus gizi buruk menimpa seseorang yang fisiknya murni tergerus oleh penyakit yang tidak terlacak sejak dini dan atau tidak ditangani dengan baik, atau dengan kata lain faktor pencetusnya murni aspek medis saja, masih ada relevansinya jika Dinkes atau Puskesmas diminta untuk ikut bertanggungjawab dalam kasus seperti ini. Akan tetapi sesungguhnya yang paling banyak terjadi adalah kasus gizi buruk yang dicetuskan oleh problem nonmedis. Kasus gizi buruk yang dicetuskan oleh buruknya sanitasi dasar yang dimiliki oleh keluarga penderita. Kasus gizi buruk yang dicetuskan oleh buruknya kualitas nutrisi yang dikonsumsi oleh mereka. Kasus gizi buruk yang dicetuskan oleh buruknya pola asuh dalam keluarga penderita. Kasus gizi buruk yang dicetuskan oleh buruknya aksesibilitas mereka terhadap sumber-sumber ekonomi. Kasus gizi buruk yang dicetuskan oleh buruknya pranata sosial yang melingkupi mereka. Kasus gizi buruk yang dicetuskan oleh buruknya cara penanganan gizi buruk.

Cara membantu yang paling baik adalah bukan membagi-bagikan uang, melainkan mengajari mereka cara mendatangkan uang. Jika engkau memberi mereka ikan, engkau memberi mereka makan sehari. Sementara jika engkau memberi mereka ilmu mendapatkan ikan, engkau memberi mereka kehidupan selamanya. Beberapa filosofi yang barusan saya kutip, sejatinya harus menjadi ruh atau substansi dasar dalam kerja kolektif kita untuk menuntaskan persoalan gizi buruk, atau persoalan-persoalan sosial terkait lainnya. Kalau intervensi penanganannya tidak berangkat dari filosofi dasar ini, maka kasus gizi buruk akan terus terjadi, akan terus bertambah. Kalau toh berkurang, bisa jadi karena kematian demi kematian mereka yang tak terelakkan lagi menghadapi segala derita dan nestapa hidup yang tiada tara, tanpa kepedulian multi sektor, multi program !!! Na’uzubillah.

Salam rindu untuk para wakil rakyat

Dengan konstelasi tali-temali problematika gizi buruk seperti yang saya sampaikan secara general di atas, muncul kerinduan saya yang begitu membuncah khususnya kepada para wakil rakyat, di manapun mereka berada. Aku mencintai kalian sebagaimana aku mencintai kehidupan. Mengapa aku sangat rindu kepada kalian? Karena sudah terlalu lama aku belum pernah berjumpa para wakil rakyat yang bisa menghentikan pembicaraan publik tentang rencana pembelian mobil-mobil dinas baru setiap kali periode pergantian masa kerja, karena diskursus rutin seperti itu tergantikan oleh pembicaraan yang lebih berkualitas tentang rencana alokasi budgeting untuk mendukung dan menyukseskan kerja kolektif multi sektor multi program dalam pemberdayaan publik yang lebih emansipatoris, khususnya menyangkut gizi buruk. Wallahua’lam.

Post a Comment for "Hal-Hal Buruk di Balik Kasus Gizi Buruk"