Tiga Tantangan Pokok di Balik PP Nomor 46 Tahun 2014



Mencermati kandungan PP 46/2014, sebagaimana telah dibahas sedikit dalam artikel saya berjudul Angin Segar dalam Sistem Informasi Kesehatan, ada beberapa tantangan yang kemudian perlu dituntaskan, agar PP tersebut tidak berhenti sebatas kebaikan di atas kertas saja. Sesungguhnya banyak tantangan tersebut, namun pada kesempatan ini saya mencoba mengetengahkan 3 (tiga) tantangan pokok.

Tantangan pertama, perlu segera ditetapkan Permenkes (Peraturan Menteri Kesehatan) yang mengatur lebih lanjut mengenai sejumlah hal yang belum secara spesifik diatur dalam PP 46/2014 ini. Salah satu di antaranya adalah rincian tentang jenis data dan informasi kesehatan yang baku untuk tiap tingkat fasilitas pelayanan kesehatan, atau tiap tingkat administrasi wilayah, lengkap dengan definisi operasional dari masing-masing jenis data atau informasi tersebut agar benar-benar aplikatif di lapangan, tanpa potensi multitafsir lagi. 

Kebutuhan terhadap data atau informasi baku sebagaimana dimaksud di atas tidak berarti menafikan probabilitas variasi jenis data antar fasilitas dan atau wilayah, sepanjang variasi tersebut terkait erat dengan problematika lokal spesifik yang memang bisa beragam antar fasilitas atau wilayah. Referensi baku untuk monitoring, evaluasi maupun kegiatan reporting Cakupan Imunisasi misalnya, akan menjamin seluruh fasilitas kesehatan tingkat pertama dari Sabang sampai Merauke umpamanya, akan seragam dalam menggunakan (dan memahami) parameter atau indikator yang dipakai.

Dengan pengaturan melalui Permenkes, penggunaan parameter atau indikator suatu kegiatan atau program akan benar-benar konsisten. Kapan data proyeksi boleh digunakan sebagai faktor denominator suatu indeks, dan kapan tidak boleh digunakan karena harus memakai data riil misalnya, itu semua bisa direalisasikan melalui pengaturan dasar di Permenkes.

Itu tantangan pertama. Sekedar mengingatkan, kalau tantangan pertama ini terabaikan, maka kita masih akan sering terjebak dalam resiko penggunaan variabel data yang sama tetapi dengan pemahaman yang berbeda. Kalau ini (masih) terjadi, sama artinya dengan kita memproduksi data-data “sampah”, dan saya kira hal semacam ini akan menjadi bagian tak terpisahkan dari catatan negatif aspek akuntabilitas kita terhadap publik. Bahkan, tidak tertutup kemungkinan, publik bisa menghubungkannya dengan aspek integritas kita.

Tantangan kedua, terkait dengan ketersediaan sumber daya (resources) yang relevan dengan substansi PP 46/2014 ini. Dari sekian jenis sumber daya yang dibutuhkan, saya menggarisbawahi ketersediaan sumber daya tenaga pengelola data dan informasi kesehatan. Artinya, mulai saat ini, dari level pusat perencanaan formasi penerimaan pegawai negeri sipil (atau aparatur sipil negara) sudah harus mempertimbangkan mapping kebutuhan tiap daerah akan jenis tenaga tersebut. Sebagaimana dimaklumi, manajemen data dan informasi kesehatan dalam sebuah sistem yang dikehendaki dalam PP 46/2014 ini administrator idealnya adalah tenaga yang berkompeten di bidang statistik, komputer dan epidemiologi.

Untuk sumber daya pembiayaan, jika konteksnya diumpamakan pada ruang lingkup fasilitas pelayanan kesehatan tingkat pertama milik pemerintah misalnya, maka sesungguhnya momentumnya sangat tepat, mengingat hari-hari ini dan ke depan adalah periode yang cukup kondusif untuk itu, karena dukungan dana kapitasi penyelenggaraan JKN (Jaminan Kesehatan Nasional) yang “memadai” untuk kepentingan tersebut. Sementara itu, untuk sumber daya berupa hardware pendukung, tentu saja dengan sendirinya tidak akan ada masalah jika dua jenis sumber daya yang telah disebutkan sebelumnya (tenaga dan dana) sudah tidak ada kendala.

Tantangan ketiga adalah membangun (dan mempertahankan kontinuitas) sense of urgently pada pengejawantahan semua jenis sistem informasi yang berkaitan langsung maupun tidak langsung dengan efektivitas dan efisiensi penyelenggaraan pembangunan kesehatan. Dalam World Health Statistics 2014 yang disampaikan oleh WHO (World Health Organization), tantangan ketiga ini memperoleh penekanan yang cukup signifikan. Dalam dokumen tersebut, WHO menyebut "the crucial role of civil registration and vital statistics systems in national and global advancement". 

Luar biasa, sedemikian urgennya sistem informasi kesehatan yang diamanahkan dalam PP 46/2014 itu. Interkonektivitas data di dalamnya dapat dimaknai lebih luas, sehingga sebagaimana dilansir WHO di atas, entitas data di pencatatan sipil pun harus menjadi bagian tak terpisahkan dari jaringan data-data vital untuk kepentingan pengambilan kebijakan dalam penyelenggaaan pembangunan kesehatan yang efekif dan efisien. Wallahua’lam.

Post a Comment for "Tiga Tantangan Pokok di Balik PP Nomor 46 Tahun 2014"