Penuh dengan Ironi
Dalam perjalanan negeri ini menuju Pilpres, suara anak bangsa seperti terbelah menjadi 2 kubu, yang memang mencerminkan kebebasan berpendapat, tetapi sayangngnya penuh dengan ironi. Jika pihak yang mengambil posisi netral diklasifikasikan sebagai sebuah kubu tersendiri pula, maka dari 2 kubu utama yang ada bisa berkembang menjadi 3 kubu. Bahkan bisa menjadi 4 kubu jika kubu yang netral dipilah lagi menjadi kubu yang netral aktif, serta kubu yang netral pasif.Melalui beragam media yang ada, kita saksikan kubu yang aktif menyuarakan kebaikan, keunggulan, kehebatan Prabowo-Hatta sambil membeberkan keburukan, kekurangan, atau bahkan aib dari Jokowi-JK. Ada kubu yang aktif menyuarakan kebaikan, keunggulan, kehebatan Jokowi-JK sambil membeberkan keburukan, kekurangan, atau bahkan aib dari Prabowo-Hatta.
Di sisi lain, ada kubu yang menyuarakan kebaikan, keunggulan, kehebatan kedua pasangan sambil menjaga diri tidak tergoda menyebarluaskan keburukan pasangan manapun. Ada juga kubu yang tidak menyuarakan apapun alias bersikap masa bodoh terhadap apa yang sedang terjadi. Yang terakhir ini mungkin berpendapat: yang terjadi biarlah terjadi, toh semua juga pada akhirnya akan berlalu. Kubu yang terakhir ini tidak jarang berseloroh: semua akan indah pada waktunya. (Ce ile..., gombal kali ya...)
Penjaga Hati
Dari dinamika kubu yang ada, pantas jika kemudian kita bertanya: Inikah bangsa yang merdeka itu? Inikah kebebasan menyampaikan aspirasi itu? Mengapa kita tidak memilih kebebasan dalam menyuarakan kebaikan pasangan tanpa menguras waktu dan tenaga kita lagi untuk kegiatan menyebarluaskan kekurangan pasangan? Opinikah yang disebarkan itu? Faktakah yang disebarkan itu? Fitnahkah yang disebarkan itu? Oh my God, untung saja ada penjaga hati di bawah ini.Dan janganlah kamu mengikuti apa yang kamu tidak mempunyai pengetahuan tentangnya. Sesungguhnya pendengaran, penglihatan dan hati, semua itu akan diminta pertanggungjawabannya (Al-Isra: 36)
Dan fitnah itu lebih besar bahayanya dari pembunuhan (Al-Baqarah: 191)
Jika datang kepadamu orang fasik membawa suatu berita, maka periksalah dengan teliti, agar kamu tidak menimpakan suatu musibah kepada suatu kaum tanpa mengetahui keadaannya yang menyebabkan kamu menyesal atas perbuatanmu itu (Al-Hujurat: 6)
Rasa-rasanya ayat-ayat di atas seperti tetesan-tetesan air yang membasuh hati, pikiran atau jiwa-jiwa yang sejatinya sangat merindukan kedamaian, keamanan, kenyamanan, atau kebaikan dalam perspektif yang seluas-luasnya.
Urusan Hati
Saya tertarik dengan salah satu ungkapan di akun facebook teman sejawat, dr. Sari Ali Astuti, yang menyatakan bahwa Pilpres ini sepertinya soal hati dan rasa...berita-berita luar biasa...tapi kalau frekwensi dan gelombang hatinya tidak sama, ya tidak bisa pindah ke lain capres.Isyarat paling mendasar dari ungkapan di atas adalah pilpres berada di domain hati dan rasa. Dan saya kira ungkapan itu sangat relevan dengan substansi pokok kaidah normal Pemilu kita, karena itulah sesungguhnya hakekat dari asas LUBER (langsung, umum, bebas, rahasia).
Ketika masuk dalam domain hati dan rasa, maka sesungguhnya dalam perjalanan menuju Pilpres, kampanye yang dilakukan sejatinya terkawal dalam koridor nilai-nilai yang mencerminkan kejernihan hati dan rasa siapapun. Kalau ini yang terjadi, itulah kemerdekaan bangsa yang paling hakiki. Sementara kalau yang terjadi adalah sebaliknya, maka sesungguhnya kita masih menjadi bagian dari bangsa yang terjajah oleh pemikiran pragmatis sektarian yang nota bene sangat tidak konstruktif bagi upaya bersama membangun bangsa yang kita cintai ini. Wallahua'lam.
Post a Comment for "Ironi Kampanye Pilpres, Inikah Bangsa Merdeka Itu?"