Hati-Hati Dok, Khawatir Menggerogoti Akidah (Bagian-2)



Ungkapan ‘semua indah pada waktunya’ yang “kebetulan” menjadi judul dari artikel istri saya itu, terus terang saya katakan kalimat tersebut sesungguhnya tidak begitu spesial-spesial amat di telinga istriku. Dan saya jamin, kalau kata-kata itu saya ucapkan di samping istri, tetap saja istriku tidak akan begitu respek, hatta saya menyampaikannya dengan penuh kemesraan sekalipun. Paling-paling istri berkata, ‘ummi sayang bangat sama ayah, tapi hati ummi ga begitu ngaruh dengan kata-kata itu’

Karena itu saya ingin katakan bahwa, ungkapan itu dijadikan sebagai judul artikel oleh istri, hanya sebatas acuan tematik saja sebelum akhirnya istri saya mencoba memberi warna pemaknaan yang lebih bernuansa Islami (tentu saja dengan segala keterbatasan saya dan istri dalam memahaminya, atau memaknainya).

***

Di saat jam menunjukkan waktu dimana saya duga kawan saya di atas tidak sedang sibuk, saya telepon balik. Begitu tersambung, saya langsung bertanya, “boleh saya mengganggu?”

“Mau melanjutkan diskusi yang itu ya”

“Ya iyalah...kita hidup di tengah masyarakat yang heterogen begini, kita harus berpikir toleransi saya kira”

“Toleransi...? Memang ada yang berpotensi merusak toleransi dengan pernyataan saya ?”

“Merusak sih saya kira tidak, tapi menyinggung ya...”

“Yang mana? Ente aja kali yang terlalu sensi...”

“Hehehe...saya yang terlalu sensi atau you yang terlalu cuek..?! Saya punya banyak teman, dan tidak sedikit di antara mereka berbeda agama dengan saya. Kalau suatu ketika saya mengucapkan kalimat ‘semua indah pada waktunya’ dimaknai sebagai sebuah bentuk tasyabbuh yang berpotensi menggerogoti akidah kita, atau akidah saya, masa iya sih...?”

“Ooh ini yang mau didiskusikan...?! Harap dicatat ya, kawan-kawan saya yang nonmuslim tidak kalah banyak dengan ente saya kira. Dan selama ini saya fine-fine aja tuh dengan mereka...Karena mereka ngerti saya, dan saya juga berusaha ngerti mereka”

“Maksudnya?”

“Dari awal saya bilang ke kawan-kawan gua yang nonmuslim, you cinta agama you, ane cinta agama ane. Jangan campur aduk yang berbeda, sebab agama bukan gado-gado ya... Kalau ada yang sama, tumbuhkan...kalau ada yang berbeda, simpan. Titik”.

“Jangan pasang titik dulu dong”

“Ya itu tadi, prinsipnya mereka ngerti bahwa ketika saya menghindari menggunakan idiom-idiom mereka, ungkapan-ungkapan dari kitab mereka, tidak berarti saya menghindari mereka, tetapi semata-mata saya ingin menjaga kemurnian akidah yang saya cintai. Sebaliknya saya juga ngerti, ketika mereka tidak mau memakai idiom-idiom khas kitab kita, mereka tidak sedang menjaga jarak dengan saya, mereka juga sedang berusaha menjaga kemurnian agama yang mereka cintai.... Buktinya sikap seperti ini kami bisa lakukan sambil  berangkulan, atau sambil bersalaman...”

Luar biasa memang kawan baik saya yang satu ini. Saya belum pernah menang kalau berdiskusi dengan dia. Kalau toh saya menang, itu adalah kemenangan dalam arti saya memperoleh pencerahan dari dia.

Okelah kalau begitu”, jawab saya singkat

“Tunggu sebentar. Ane mau bilang ente jangan merisaukan tulisan yang judulnya menjadi bahan diskusi kita ini ya... Tenang... Saya sudah simak lagi tulisan istri antum itu, dan saya menyimpulkan bahwa tidak ada yang mengkhawatirkan”

“Kalau tidak ada yang mengkhawatirkan, kenapa judul atau topik diskusi kita ada kata-kata ‘khawatir menggerogoti akidah’?”

“Ah, sudahlah...apa ane harus mengatakan untuk kedua kalinya bahwa itu semua karena ane sayang sama ente...Promotif preventif kemurnian akidah, sambil membangun persahabatan yang lintas batas, kira-kira begitu.... Oke...? !!!”. Wallahua’lam. [Bagian pertama dari artikel ini bisa dibaca di Hati-Hati Dok, Khawatir Menggerogoti Akidah (Bagian-1)]

Post a Comment for "Hati-Hati Dok, Khawatir Menggerogoti Akidah (Bagian-2)"