Sindrom Politisi Tuna Visi dan Tuna Moral

Prof. Dr. Ahmad Syafii Maarif dalam banyak kesempatan mengungkapkan keprihatinannya yang sangat dalam terhadap masa depan Indonesia. "Negeri dengan beribu-ribu pulau ini, sekarang sedang berada dalam suasana yang serba beracun. Demokrasi di tangan politisi yang defisit sifat kenegarawanan merupakan racun yang akan mematikan harapan rakyat banyak", kata Buya Syafii seperti di kutip banyak media belum lama ini.

"Kehadiran para politisi tersebut di panggung politik nasional maupun daerah, semakin memperpanjang penderitaan rakyat dan memperberat beban yang harus dipikul bangsa ini, karena mereka pada umumnya adalah sosok yang tuna visi dan tuna moral," tutur mantan Ketua Umum PP Muhammadiyah itu.

Sepuluh tahun yang lalu, seorang Penyair Angkatan 66, Taufik Ismail, dengan bibir yang bergetar bertutur: negara dan bangsa Indonesia kini seperti rumah sakit, tepatnya ruang gawat darurat; banyak penyakit sosial yang harus segera diobati.

Budayawan Emha Ainun Najib lebih tajam lagi penilaiannya. Konstelasi politik kita terjerembab dalam hegemoni "perusahaan politik", dimana parpol tidak punya kepentingan terhadap pemimpin sejati, karena ekspektasinya adalah mencari laba. Kepemimpinan dalam "perusahaan politik", menurut Emha, tergerus maknanya, atau tercerabut keluhuran filosofinya, lalu bermetamorfosis menjadi praktek tawar menawar untuk kemudian memilih atau mengambil mana yang paling menguntungkan perusahaannya. Hiruk-pikuk politik transaksi seperti ini yang kemudian disebut oleh Kiyai Kanjeng itu sebagai kesibukan mengukir sejarah bangsa dalam gairah sakit jiwa.

Menelusuri Akar Penyebabnya

Fenomena yang mengundang keprihatinan di atas, sesungguhnya bisa ditelusuri akar penyebabnya sampai ke titik  awal sebab musababnya, dengan menyandarkan kajiannya pada wilayah yang paling dekat hubungan kekerabatannya dengan konstelasi politik, yakni kekuasaan. Seperti yang diperingatkan banyak pengamat, bahwa kekuasaan pada awalnya adalah benar-benar berdimensi teologis, yang dipagari secara ketat oleh pilar-pilar nilai yang bersifat transendental. Dalam perjalanan kehidupan anak manusia, pemahaman terhadap substansi kekuasaan kemudian terkontaminasi oleh virus sekularisasi sehingga pada akhirnya nilai-nilai transendental dalam kekuasaan "dipaksa" untuk dipisahkan dari ranah politik, kerabat dekatnya.

Jadilah kemudian kekuasaan itu ibarat obyek pemuas syahwat politik saja. Tidak heran jika salah seorang politisi salah satu partai politik  (yang telah ditetapkan oleh KPK sebagai tersangka dalam kasus korupsi terkait skandal suap SKK Migas) menggambarkan kekuasaan itu sebagai sesuatu yang "ngeri-ngeri sedap". Istilah atau ungkapan "ngeri-ngeri sedap" sesungguhnya adalah idiom yang merepresentasikan fakta "perkosaan" terhadap makna kekuasaan yang sejatinya sangat luhur.

Merujuk ke pernyataan Guru Bangsa, Buya Syafii di awal tulisan ini, bahwa fenomena miris di atas timbul berbarengan dengan munculnya politisi-politisi yang tuna visi dan tuna moral. Pertanyaan paling krusial yang pada akhirnya bisa langsung menukik pada titik awal sebab musababnya adalah: mengapa tuna moral bisa terjadi ?

Jawaban pertanyaan di atas tersimpul dalam ungkapan Al-Maududi, bahwa tidak akan ada kebaikan tanpa hukum; tidak akan ada hukum tanpa undang-undang; tidak akan ada undang-undang tanpa moral; dan tidak akan ada moral tanpa iman.

Ya, imanlah memang akar pokoknya. Tafsir semantiknya dalam bahasa Arab sangat jelas, sebab kata "iman"  satu akar kata dengan kata "aman". Sehingga, keamanan harta, keamanan jiwa, keamanan anggaran, keamanan suara (pemilu), keamanan bangsa, atau keamanan segala entitas kehidupan yang berharga, apapun bentuknya, sungguh adalah buah segar dari keimanan yang bersemayam di dalam kalbu, terpancar dalam segala tutur, dan terejawantah  dalam seluruh pola tingkah kehidupan. Wallahua'lam.

* Pada kesempatan selanjutnya saya akan melengkapi tulisan di atas dengan artikel susulan bertema "Menggagas Formula Terapi Sindrom Tuna Moral. Mudah-mudahan saya tidak tergoda untuk mengangkat topik yang lain sebelum tema di atas tuntas sesuai rencana.

Post a Comment for "Sindrom Politisi Tuna Visi dan Tuna Moral"