Formula
terapi untuk tuna visi dan tuna moral, dalam konteks ini dibatasi pada politisi
yang mengidap sindrom tersebut, dapat dibedakan menjadi dua jenis. Pertama, optimalisasi penerapan pendekatan
hukum tanpa tedeng aling-aling, tanpa diskriminasi, pada politisi yang terbukti
melakukan penyelewengan wewenang, katakanlah korupsi misalnya, yang merupakan "implementasi" dari predikat tuna visi dan tuna moral itu sendiri.
Formula terapi yang pertama di atas lebih bersifat instan jangka pendek dengan harapan ada potensi efek jera pada pelaku, dan sekaligus efek takut pada yang belum melakukan tindakan amoral tersebut. Apa yang ditempuh KPK dengan mencoba menerapkan intensifikasi Operasi Tangkap Tangan (OTT) misalnya, adalah bagian tak terpisahkan dari formula terapi jenis pertama.
Formula terapi yang pertama di atas lebih bersifat instan jangka pendek dengan harapan ada potensi efek jera pada pelaku, dan sekaligus efek takut pada yang belum melakukan tindakan amoral tersebut. Apa yang ditempuh KPK dengan mencoba menerapkan intensifikasi Operasi Tangkap Tangan (OTT) misalnya, adalah bagian tak terpisahkan dari formula terapi jenis pertama.
Formula kedua, adalah penerapan pendekatan
antisipatif jangka panjang yang lebih bersifat substansial-fundamental.
Dikatakan antisipatif substansial-fundamental jangka panjang karena muatan pendekatan kedua ini
berfokus pada upaya pembangunan sumberdaya insani yang komprehensif sejak dini.
Dengan demikian formula
kedua ini akan bersentuhan langsung dengan konstelasi ranah pendidikan yang
dibangun, baik pada tataran formal maupun nonformal/informal, apakah itu di level keluarga, masyarakat, maupun sekolah atau kampus.
Dalam
artikel saya di ruang ini berjudul Quick Count Transaksional dan Moralitas Akademik, salah seorang kawan di facebook, Ibu Jundra Darwanty, memberi komentar menarik tentang tulisan tersebut, yang sekaligus komentar
itu pada kesempatan ini akan menjadi
acuan saya untuk melakukan eksplorasi gagasan
lebih lanjut, karena memang memiliki kaitan tematik dengan tulisan saat ini. Seperti yang saya
perlihatkan dalam screen shoot
berikut, ranah pendidikan itu memang sejatinya harus mengembangkan potensi insani
di tiga domain (atau tiga ranah) pendidikan secara komprehensif: kognetif,
afektif, psikomotorik.
Tantangan
terbesar yang dihadapi dunia pendidikan saat ini adalah sekularisme, yakni
faham yang memisahkan antara urusan agama dengan kehidupan dunia seperti
politik, pemerintahan, ekonomi dan lain-lain. Coba saja cermati secara seksama fakta-fakta yang ada. Di masyarakat mulai
muncul pemahaman yang bias tentang sekularisme ini, yang memaknainya justru
sebagai faham yang menjunjung tinggi dan memuliakan agama, dengan alasan sekularisme memisahkan
agama yang sakral dari ruang kehidupan yang profan dan penuh tipu daya. Dengan
menganut sekularisme, masih versi pemahaman yang bias, kebaikan kita akan
bertambah, karena kita menjauhkan agama dari kekotoran dunia yang profan tadi.
Singkirkan Sekularisme
Untuk (dan
atas nama) kehidupan yang lebih beradab, maka sekularisme dan seluruh
penafsiran yang bias terhadapnya, harus
segera diakhiri. Kalaulah agama sama-sama dipahami sebagai sesuatu yang
bersifat sakral, sementara dunia bersifat profan, maka sesungguhnya antara
keduanya hanya boleh dibedakan, tetapi tidak untuk dipisahkan. Membedakan
keduanya hanya semata-mata mengafirmasi fakta diferensiasi sifat antara
keduanya. Tidak lebih dari itu. Sementara memisahkan keduanya, resikonya sangat
besar, yang tidak lain adalah meningkatkan potensi keburukan, kejahatan, atau
bahkan kekejaman profanitas dunia (politik, ekonomi, pemerintahan, dll).
Menempatkan
posisi agama (Islam misalnya) sebagai tuntunan hidup hanya bisa terejawantah jika
dan hanya jika antara agama dan kehidupan tidak dipisahkan, meskipun memang
keduanya bisa dibedakan. Contoh kasus kecil: hilangnya sandal jepit yang lebih
baik di halaman masjid bisa jadi pelakunya adalah orang-orang yang berfaham
bahwa agama hanya ketika berada di dalam masjid, setelah keluar dari masjid,
agama jangan di bawa-bawa.
Sudah
terlalu lama sekularisme hidup. Dan sudah terlalu banyak korban yang
ditimbulkannya dalam kehidupan. Kalau faham tersebut diasumsikan (sekali lagi
diasumsikan) mulai hidup sejak pertama kali istilah sekularisme diperkenalkan
oleh penulis Inggris George Holoyake pada tahun 1846, maka sudah 168 tahun usia
faham beracun tersebut bergentayangan.
Ketika
Harun Yahya berhasil meruntuhkan teori-teori evolusi Darwinisme dengan
argumen-argumen yang ilmiah, maka sebenarnya sekularisme sudah diambang
kebangkrutan. Dan orang-orang yang masih memegang teguh sekularisme, satu
persatu akan bertumbangan pula, apakah dari panggung politik, pemerintahan, dan
lain sebagainya.
Ya,
sekularismelah sesungguhnya yang melahirkan tuna visi dan tuna moral. Karena
itu tidak berlebihan ketika seorang ilmuwan sekaliber Albert Einstein menyatakan, ilmu tanpa agama adalah
buta, dan agama tanpa ilmu adalah lumpuh. Artinya, sekularisme sejatinya tidak boleh
diberi ruang hidup, karena kehadirannya adalah candu kehidupan itu sendiri.
Nah,
kembali ke tiga ranah pendidikan: kognetif, afektif, psikomotorik; dari awal
sampai akhir (long life education)
nilai-nilai agama (Islam, misalnya) harus tampil sebagai pemandu utama di
ketiga domain tersebut. Dan hanya ini yang kemudian dapat menjauhkan kita dari
sindrom tuna visi dan tuna moral. Long
life education dalam kontruksi seperti ini saya kira yang senapas dengan
apa yang disampaikan oleh insan teladan kita, Rasulullah Muhammad SAW: utlubul 'ilma minal mahdi ilal lahdi (tuntutlah
ilmu dari buaian hingga liang lahad). Wallahua’lam.
Post a Comment for "Menggagas Formula Terapi Bagi Politisi Tuna Visi dan Tuna Moral"