Memahami Kontekstualitas Harapan Puskesmas


Gagasan pokok yang terkandung dalam tulisan ini sesungguhnya sudah sejak lama saya ingin kemukakan ke hadapan publik. Sengaja saya pending, tidak saya publikasikan saat saya masih berada di puskesmas kala itu, agar tidak menimbulkan kesan seolah-olah saya hanya mementingkan puskesmas saja. Saya pikir, ketika takdir saya saat ini berada di Dinas Kesehatan, maka inilah momentum yang paling tepat untuk mengetengahkan pemikiran personal saya mengenai beberapa dimensi yang terkait secara substansial dengan harapan-harapan puskesmas.

Sebelumnya, saya ingin menjelaskan sedikit mengapa saya menggunakan rumusan judul seperti di atas: Memahami Kontekstualitas Harapan Puskesmas. Kata kontekstualitas saya pilih karena hemat saya kata tersebut paling relevan untuk menggambarkan tali-temali sekaligus relevansi berbagai harapan puskesmas. Konteks (seperti penjelasan dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia) yang merupakan akar kata dari kontekstualitas, mengandung arti situasi yang ada hubungannya dengan suatu kejadian. Jika arti dari konteks seperti itu, maka kontekstualitas sendiri merefleksikan bobot dari suatu konteks.

Terkait harapan-harapan puskesmas, saya batasi ruang lingkupnya pada persoalan yang secara langsung disuarakan oleh komunitas puskesmas beberapa waktu lalu (yang hingga kini juga masih tetap disuarakan), yakni keinginan agar TPP (Tunjangan Perbaikan Penghasilan) dan Kapitasi bisa kembali diterima dua-duanya oleh setiap karyawan sebagaimana yang berlaku pada tahun 2014 lalu (semester dua). Jujur, dari lubuk hati saya yang paling dalam, meski posisi saya saat ini berada di Dinas Kesehatan, secara pribadi saya tetap berharap TPP dan Kapitasi bisa dinikmati dua-duanya oleh setiap karyawan puskesmas, tanpa kecuali. Hanya saja, ada hal-hal mendasar yang mutlak menjadi perhatian semua pihak, termasuk pihak puskesmas.

Mengenai konteks wilayah dalam tulisan ini memang lebih mencerminkan dinamika yang sedang terjadi di Kabupaten Karawang, meskipun secara substansial pada hakekatnya berlaku ke semua wilayah lainnya yang sedang berproses merumuskan kebijakan lokal setempat tentang TPP maupun Kapitasi. Sementara itu, kajian mengenai konteks aktual harapan-harapan puskesmas menukik pada data potret global institusi layanan kesehatan dasar itu.

Potret Global Puskesmas

Bercermin dari data hasil Risfaskes (Riset Fasilitas Kesehatan) tahun 2011, tingkat kesiapan pelayanan, baik di Rumah Sakit maupun Puskesmas, ternyata belum memuaskan. Tingkat kesiapan pelayanan umum di Puskesmas baru mencapai 71%, tingkat kesiapan PONED (Pelayanan Obstetri Neonatal Emergensi Dasar) 62%, dan tingkat kesiapan pelayanan PTM (Penyakit Tidak Menular) baru mencapai 79%. Sementara itu, tingkat kesiapan peralatan dasar sudah cukup tinggi, yakni 84%, akan tetapi tingkat kemampuan penegakan diagnosis masih tergolong rendah (61%).

Dengan potret global seperti di atas, maka pilihan terbaik adalah penguatan puskesmas di berbagai lini pelayanan. Ini saya kira harga mati !!! Pilihan pada penguatan puskesmas itu mutlak menyentuh seluruh aspek, termasuk aspek yang berkaitan dengan penguatan semangat kerja seluruh karyawan puskesmas. Kesehatan di negeri ini akan rontok jika puskesmas sebagai gatekeeper di lini pelayanan dasar gagal melaksanakan fungsi strategis mereka. Betapa repotnya Rumah Sakit misalnya, jika masih harus sibuk menangani kasus-kasus  yang seharusnya tuntas di tingkat puskesmas. Betapa sedihnya kita jika pilar-pilar konstelasi kesehatan rapuh karena promotif preventif yang tidak maksimal di tingkat layanan dasar.

Sampai di sini, saya ingin kembali menggarisbawahi, bahwa TPP dan sekaligus Kapitasi di tingkat puskesmas (khususnya yang belum menerapkan PPK-BLUD), seyogyanya diposisikan sebagai bagian tak terpisahkan dari upaya sistemik penguatan puskesmas. Bahwa jika kemudian ada kekhawatiran realisasi keduanya bisa ditafsirkan sebagai bentuk duplikasi pembiayaan, maka sesungguhnya kekhawatiran itu bisa dieliminir dengan rumusan regulasi yang menegaskan determinasi perbedaan keduanya. Saya yakin, pihak BPK (Badan Pemeriksa Keuangan), termasuk pula auditor-auditor internal, bisa diajak berdialog untuk memastikan secara deterministik esensi dari kedua nomenklatur tersebut, untuk memastikan agar rumusan konseptual regulasi yang dibangun tidak merugikan pihak manapun di kemudian hari (dan juga di hari kemudian), terutama (meskipun tidak terbatas pada) pihak pembuat regulasi.

Implementasi Kontrak Kerja

Penting menjadi catatan, bahwa jika kelak setiap karyawan Puskesmas bisa kembali menerima dua-duannya, bukan TPP saja, atau bukan Kapitasi saja, maka nuansa keindahan penerimaan seperti ini akan terpancar kuat manakala pada saat yang sama disertai pula dengan penerimaan tanggungjawab besar untuk merealisasikan performance puskesmas yang benar-benar bisa membanggakan publik. Atas dasar ini, maka desain konseptual pemberian TPP dan Kapitasi pada tiap karyawan puskesmas mutlak disandingkan dengan sesuatu yang katakanlah semacam kontrak kerja puskesmas dalam upaya merias institusi layanan kesehatan dasar ini menjadi semakin menarik, dengan keunggulan-keunggulan komparatif maupun keunggulan-keunggulan kompetitif yang handal.

Konkritnya, ketika TPP dan Kapitasi dua-duanya bisa diberikan kepada setiap karyawan puskesmas, dan memang alangkah baiknya begitu, maka pertanyaan besar yang harus bisa dijawab oleh puskesmas adalah: kapan puskesmas ditargetkan meraih sertifikat ISO misalnya, sebagai bentuk pengakuan atas kualitas layanan publik yang diberikan?

Nah, jawaban puskesmas atas pertanyaan di atas harus berupa rincian rencana aksi program maupun rencana aksi kegiatan yang relevan untuk menuju prestasi itu. Jika konsep ini yang digagas, dimatangkan dan diterapkan, dan tentu saja di back-up dengan regulasi, maka dengan keyakinan yang sangat tinggi saya berani mengatakan bahwa tidak akan ada celah sedikitpun untuk beranggapan bahwa  pemberian TPP dan Kapitasi kepada tiap karyawan puskesmas adalah pemborosan anggaran. Sebaliknya, dengan konsep seperti di atas, itulah sesungguhnya salah satu bentuk konkrit investasi kesehatan yang konstruktif sekaligus produktif.

Jika gagasan seperti di atas bisa diwujudkan, dan kemudian puskesmas secara bertahap semakin menunjukkan eksistensinya yang kuat dalam ranah pelayanan kesehatan dasar, lalu indikator-indikator output maupun outcome program semakin baik, maka saya kira itulah esensi dari kemenangan bersama yang diharapkan. Dan, ketika puskesmas kuat dan berjaya, maka itu pulalah sejatinya kekuatan dan kejayaan Dinas Kesehatan. Karena, di mata saya, Puskesmas dan Dinas Kesehatan adalah ibarat dua sisi dari satu mata uang. Wallahua’lam.

Post a Comment for "Memahami Kontekstualitas Harapan Puskesmas"