Rupanya ada
benarnya juga yang dikatakan Hellen Brown, salah seorang jurnalis senior Australia
yang aktif mengamati Indonesia, bahwa “Democracy means
different things to different people. A lot of Indonesians are frustrated about 'democracy'
and what it means to them, but the views of both sides have to be respected”.
Beralihnya proses
pemilihan kepala daerah dari pangkuan rakyat ke dalam cengkeraman anggota dewan adalah salah satu contoh bagaimana
fakta perbedaan pemaknaan ‘demokrasi’
itu memang nyata-nyata ada. Bagi yang menginginkan pilkada langsung,
penetapan pilkada tidak langsung dianggap sebagai momen kematian
demokrasi. Berbagai ungkapan belasungkawa atas matinya demokrasi banyak
menghiasi media sosial yang ada. Tetapi bagi yang menginginkan pilkada
tidak langsung, justru sangat yakin
bahwa inilah demokrasi yang sesuai dengan falsafah Pancasila, khususnya sila
ke-4, kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam
permusyawaratan perwakilan.
Kalau demokrasi
kita benar-benar “dipimpin oleh
hikmat kebijaksanaan” , saya yakin
seyakin-yakinnya Indonesia akan tumbuh menjadi negara yang benar-benar
sejahtera. Pertanyaannya, apakah selama ini demokrasi kita “dipimpin oleh
hikmat kebijaksanaan” , ataukah “dipimpin oleh logika konspiratif para pemburu
kekuasaan yang ambisius” ? Biarkan nurani kita yang menjawabnya.
Saya ada di
posisi dimana pilkada langsung maupun tidak langsung tidak begitu menarik
perhatian. Yang sangat menarik perhatian saya adalah cara kita menjalani keduanya
dalam periode waktu yang berbeda tetapi dengan tipologi permasalahan yang bisa
dikatakan sama, yakni sama-sama menodai kejujuran, kebersamaan, dan bahkan kehormatan
kita sebagai bangsa.
Ketika pemilu
dilakukan secara langsung, proses yang menyertainya seringkali membuat rakyat
terbelah dalam dua kubu yang ekstrim, saling hujat, saling fitnah, saling
menjelekkan dan lain sebagainya yang semuanya menodai nilai-nilai kebersamaan
maupun kejujuran sebagai bangsa.
Ketika pemilihan kepala daerah dilakukan oleh
anggota dewan, tidak jarang yang terjadi adalah praktek lobby-lobby
kepentingan pragmatis antara elit-elit anggota dewan dengan para calon kepala
daerah. Dan ketika kepala daerah terpilih dengan cara ini, sang kepala daerah
tidak perlu serius memikirkan kepentingan rakyat, karena yang penting adalah bagaimana
“menjalin hubungan baik” dengan para anggota dewan yang memilihnya.
Bagaimana jika
pilkada langsung dan tidak langsung dinilai keduanya dari segi penggunaan anggaran
negara? Banyak yang berpikir bahwa pilkada langsung menghabiskan banyak anggaran
dibanding biaya penyelegngaraan pilkada tidak langsung. Sinyalemen ini saya
kira perlu dikaji lebih lanjut, dengan ruang lingkup kajian yang komprehensif. Sebab, praktisi pemerintahan banyak yang
meragukan ini. Yusuf Kalla misalnya, menilai bahwa penyelenggaraan pilkada tidak
langsung memang tidak menghabiskan banyak anggaran, tetapi cost pemerintahannya
(baka)l boros.
Hal krusial yang
menjadi keyakinan saya adalah, kebaikan dua jenis pilkada itu tidak bisa
dinilai dari besaran anggaran yang digunakan, melainkan dari besaran kebaikan
yang dihasilkan. Tidak masalah anggaran besar dikeluarkan kalau memang itu
adalah cost untuk meraih kebaikan yang lebih besar ? Apa artinya kita
mengeluarkan anggaran sedikit tetapi menghasilkan komplikasi rentetan
kemudharatan yang lebih masif, misalnya ?
Di tengah
kegalauan demokrasi kita, sejatinya saya ingin mengatakan bahwa kali ini
ditetapkan pilkada tidak langsung, setelah kita mencoba menjalani pilkada
langsung. Suatu saat mungkin pihak legislatif kita akan kembali menetapkan lagi
pilkada langsung biar terkesan mereka bekerja menyusun atau menetapkan
undang-undang. Artinya, makna demokrasi kita akan berputar-putar saja di antara
dua kutup. Kutup yang memaknai demokrasi dari rakyat oleh rakyat untuk rakyat.
Dan kutup yang memaknai demokrasi dari anggota dewan, oleh anggota dewan, untuk
anggota dewan.
Sejujurnya saya
lebih condong pada pilkada langsung, apalagi biaya besar penyelenggaraannya
sesungguhnya hanya sekedar bentuk lain dari pola distribusi “kekayaan negara” langsung
kepada rakyat melalui proses pembelajaran demokrasi yang sesungguhnya, dari
rakyat oleh rakyat untuk rakyat. Kalau dana yang besar itu kita buang ke laut,
bolehlah dibilang pemborosan.
Meski saya lebih
condong pada pilkada langsung, tapi tetap berusaha taat pada konstitusi. ‘Alaa
kulli hal, yang sangat mendasar sekaligus menjadi tujuan pokok saya menulis
artikel singkat ini adalah, dengan kondisi
watak kita sebagai bangsa seperti saat ini, perbaikan negeri ini tidak bisa
kita berharap terlalu banyak muncul dari kebijakan merubah sistem pilkada dari
langsung menjadi tidak langsung, yang suatu saat mungkin akan kembali ke sistem
langsung lagi.
Perbaikan bangsa
ini, haqqul yakin, hanya bisa terejawantah jika yang kita lakukan secara
kolektif sebagai bangsa adalah substansi keterangan ini: “Sesungguhnya Allah tidak akan merubah
nasib suatu kaum, sampai kaum itu sendiri merubah apa yang ada dalam diri
mereka” (Surat Ar-.Ra’du : 11). Dalam sejumlah kitab tafsir, tersimpul bahwa “apa yang ada dalam diri
mereka” antara lain adalah berupa mindset, orientasi berpikir. Sepanjang
ini tidak dirubah, sistem pilkada manapun tidak akan menghasilkan keadaan bangsa
yang lebih baik. Wallahua’lam.
Post a Comment for "Quo Vadis Demokrasi Indonesia?"